Kamis, Agustus 27, 2009

Fenomena Wisata Pantai Batu Gong


Dipagi yg masih buta perjalananku beranjak ke salah satu pantai wisata di bagian barat kota Samawa Sabalong Samalewa . Nampak matahari sudah mulai muncul dari balik kawah gunung Tambora menyirami bumi dan lautan pantai Batu Gong.
Saat itu air sedang surut beberapa meter dari bibir pantai. Sungguh luar biasa Maha karya sang khalik yg di berikan di bawah laut pantai Batu Gong. Karang berwarna –warni ,Ikan, ikan hias , serta biota laut lainnya masih nampak jelas terlihat dan bisa kita nikmati , tidak kalah indahnya dengan pantai –pantai lain yg pernah saya jajaki di bumi persada ini. Decak kagum dari anak-anakku yg masih balita pun sungguh luar biasa, mereka selalu kuajak berwisata setiap minggunya ke pantai ini. Namun akankah decak kagum yg sama masih terdengar dari cucu-cucuku kelak...?.

Perasaan pesimis atas kelestarian serta keindahan Pantai Batu Gong sudah mulai nampak dan makin jelas. Pengusaha warung makan,minuman, musik yg konon katanya di sebut ”CAFE ” sudah mulai menjamur dibangun di bibir pantai tanpa kendali dan mungkin juga tanpa ijin mendirikan bangunan(IMB ). Dari pengamatan saya itu sangat jauh dari standar ”Cafe” yg sebenarnya . jadi itu bukan Cafe namun persis dengan layanan atau jasa yg di tawarkan di warung remang-remang di pulau Jawa pada umumnya.

Pantai Batu Gong dari sisi lingkungan sudah mulai di rusak dengan adanya bangunan yg tidak jelas seperti ini. Adat sopan santun dan tata krama serta budaya religi islami yg sangat kental di Tana samawa sudah mulai terkikis bahkan terpuruk dengan berkembangnya warung remang-remang dipantai Batu Gong.

Saya tidak melihat ada urgency kebutuhan hiburan masyarakat tana samawa sehingga kita harus melegalkan segala cara . Alasan kurang hiburan dan tempat rekreasi selalu di angkat oleh para oknum yg ingin merusak generasi muda dan tua di tana samawa ini sangatlah berbahaya. Masih banyak hal-hal yg positif untuk membuat hiburan di tanah samawa ini dengan mengintesifkan kinerja department pariwisata.

Salah satu contoh kita tau bahwa masyarakat tanah samawa pada umumnya sangat suka berolahraga, buatlah event-event olahraga pantai di pantai seliper seperti Volley pantai,Bola sepak pantai, sepak takraw, lomba dayung sampan, dll. Kalau yg suka musik buat event musik mingguan untuk semua kalangan yg diisi oleh musisi dari luar maupun lokal, dll. Masukan kegiatan ini dalam kalender event tahunan saya yakin ini bisa mengcover kebutuhan hiburan masyarakat.

Saya rasa tidak cukup kalau saya paparkan semua di forum yg singkat ini. Penggusuran warung remang2 di pantai Batu Gong mungkin bukanlah solusi yg terbaik bagi semua pihak, nasi sudah jadi bubur , bangunan sudah berdiri dan entah salah siapa..? baiklah kita tidak usah mencari kambing hitamnya. Mari kita cari solusi terbaik.

Pernah kita berfikir dan sadari bahwa tanah samawa ini sangatlah terkenal dengan makanan , minuman dan kue-kue tradisionalnya..? Namun apakah kita sadari bahwa saat ini ditanah samawa tercinta sudah semakin susah dan langka untuk kita bisa mencari dan menikmati makanan dan minuman tersebut..? saya yakin hal ini juga akan menjadi bagian yg akan punah di tana samawa ini.

Mungkin solusi terbaiknya Pantai Batu Gong itu kita jadikan Pusat makanan, minuman dan kue traditional tanah samawa dan kedepannya juga bisa dikembangkan menjadi pusat cindra mata khas tana samawa. Merupakan suatu kebanggaan bagi kita warga tana samawa ketika kita bisa menikmati makanan & minuman khas daerah kita. Serta menjadi peluang bisnis bagi para pedagang serta menjadi bagian dari objek wisata kuliner pertama yg mungkin akan ada di tana samawa ini. Kita juga akan merasa bangga bila tamu-tamu yg berkunjung kedaerah kita bisa menikmati masakan khas tana samawa yg beda dari daerah lainnya di nusantara ini.

Perpaduan wisata pantai dan kuliner adalah bagian dari usaha yg sangat potensial untuk pengembangan ekonomi di tanah sama ini khususnya di pantai Batu Gong. Keindahan karang laut dan biotanya juga bisa menjadi bagian dari wisata bawah air , ombak serta posisi laut yg tenang sangatlah aman untuk di kembangkan untuk wisata atau olahraga air seperti main kano,snorkling,renang ,dll.

Sangatlah fatal kalau kita masyarakat tana samawa dan Pemda Sumbawa mensupport warung remang2 atau Cafe yg mana sudah identik dengan kemaksiatan dan terbukti. Walaupun dengan alasan jam buka & model pelayanannya di tertibkan, tentu itu tidak akan efektif dan sia-sia belaka karena PEMDA dan masyarakat tidak akan mampu mengawasinya setiap saat. Kalau ini tetap didukung maka bersiap-siaplah kita menuai generasi muda sumbawa yg rusak namun sebaliknya kalau wisata Batu Gong ini kita kelola dengan baik serta jalan yg benar maka sama artinya kita peduli ke generasi muda serta mempersempit budaya kemaksiatan di Tana Samawa khususnya.

Saya berharap pihak yg terkait dalam hal ini pelaku busines Di Pantai Batu Gong ,PEMDA, Masyarakat tana samawa ikut andil dengan niat baik serta kerjasama yg baik untuk menyelamatkan lokasi pantai yg indah ini menjadi salah satu maskot wisata tana samawa dan bisa membuang jauh-jauh image bahwa pantai Batu Gong adalah gerbang tanah samawa dengan tampilan pemandangan selamat datang dengan Cafe-cafe kemaksiatan.

Mari kita jaga tanah samawa ini dan jangan sampai di obrak abrik oleh budaya-budaya luar yg sangat bertetangan dengan budaya relegi tau samawa. Marilah kita bergandeng tangan untuk kemaslahatan ummat saat ini dan generasi yg akan datang serta keselamatan lingkungan yg dititipkan pada kita selaku khalifah dimuka bumi ini. Salam Mampis manis kaleng Tanah Samawa. Syafwanuddin.

Sumber:Sumbawanews.com

Sejumlah Aset Wisata Sumbawa Mulai Punah

Sumbawa Besar,

Kearifan lokal, adat istiadat, seni budaya maupun objek wisata yang menjadi aset potensi pengembangan wisata di Sumbawa mulai punah. Selain karena derasnya arus globaliasi yang mendera, budaya vandalime menjadi faktor utama yang mempercepat hilangnya aset tersebut. Sehingga yang tersisa hanya beberapa ikon dan kegemaran yang mungkin masih dianggap penting.

Seperti permainan rakyat barempuk, sudah hampir tidak pernah terlihat. Masyarakat sebagai pemilik tidak lagi menggunakannya saat musim panen. Kecuali diadakan sebauah event khusus permainan rakyat.

''Budaya ini sebenarnya tumbuh dan berkembang dari dalam masyarakat pemiliknya. Seperti permainan rakyat yang lain Belogo', itu dulu ada ditengah masyarakat. Jika masyarakat tidak lagi meneruskannya maka permainan rakyat itu akan punah,'' komentar Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda Olah raga Kabupaten Sumbawa Ir Padusung, MM yang ditemui wartawan, kemarin.

Menurut dia, adat istiadat seni budaya maupun aset wisata lainnya punah karena masyarakat jarang menggunakannya. Seperti adat perkawinan saja banyak yang dipenggal. Tidak diterapkan secara utuh, bahkan sejumlah rentetan-rentetan penting dari bagian perkawinan adat Sumbawa tidak lagi dipakai sama sekali.
''masyarakat jarang memakainya, mereka cenderung mengambil bagian –bagian yang dianggap penting saja. Ini yang menyebabkan adat istiadat itu punah ya karena menganggapnya tidak penting,'' papar dia.

Sejumlah objek wisata juga demikian adanya. Beberapa objek yang dahulu dianggap sangat menarik bahkan sempat masuk dalam buku promosi budaya kini tidak lagi dapat dinikmati. Seperti wisata Ai Beling di Moyo Hulu, saat ini sudah tidak menarik lagi karena tidak ada air. Hutan di sekitar lokasi tersebut sudah mengalami kerusakan.. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada objek Sarkofagus di Batu Tering. Diduga beberapa bagian batu dari dalam kompleks wisata sejarah tersebut hilang.

''Memang dibutuhkan upaya multisektor untuk mengantisipasi itu semua. Kita sudah mencoba untuk berkoordinasi dengan dinas kehutanan maupun dinas PU untuk merevitalisasi keberadaan objek Ai Beling. Ini mengindikasikan daya tarik wisata alam dan gunung dari ketersediaan air. Daya tarik wisata itu akan hilang, ketika airnya sudah tidak ada atau berkurang,'' kata dia.

Dikatakannya, saat ini pemerintah tengah melakukan inventarisasi kembali aset-aset budaya yang memiliki potensi wisata. Inventaris tersebut kemudian akan dirangkum dalam media penyimpanan. Tidak hanya adat budya, seni sastra Sumbawa seperti sakeco, badede dan saketa akan disimpan. Ada juga permainan rakyat seperti pacuan kuda, barapan kebo, barempuk, badempa dan karaci.

Untuk mengantisipasi mulai punahnya aset-aset wisat terutama seni budaya kata dia, pemerintah telah menghidupkan kembali melalui Dewan Kesenian Sumbawa (DKS) agar potensi itu kembali digali dan dikembangkan sehingga dapat lebih fokus. Begitu pula dengan lembaga adat yang hampir juga 'mati suri' dengan kepengurusan yang sudah cukup usia akan dibentuk kembali.

''Lembaga adat juga akan kita segarkan kembali. Sama seperti dewan kesenian yang kemarin telah aktif lagi. Selain itu pemerintah juga akan berusaha untuk memberikan stimulan terhadap permainan rakyat dengan memunculkan kembali melalui event-evet budaya,'' tukas dia.(rif)

Sumber: Sumbawanews.com

Selasa, Agustus 11, 2009

Sumbawa Travel Guide

Sumber : Sumbawanews.com

Sumbawa is the vastest Goverment Regency in the West Nusa Tenggara Province. It's 8,493 Km2 and incorporates 38 small islands. The population is about half a million. The main island of Sumbawa is larger than Bali and Lombok combined. Its divided into three administrative districts or regencies that correspond roughly to the former sulatnates, Bima in the east, Sumbawa in the west and Dompu in the middle.

The general topography is hilly and mountainous although low level plains are to be found near the northern beaches. The main sights beside the beaches are the towns of Sumbawa Besar City and Labuhan Sumbawa a sleepy old port, now only used by the ferries departing for Moyo island . They are about 1 Hour by boat from there and have a good wild reserve.

The best beaches of the islands are found at Kencana Beach , Saliper Ate Beach and Saleh Bay , Poto Batu Beach and Maluk Beach

Bungin Island is the most densely populated island in the world, it is built from coral and sand and there is almost no vacant land. The island in habited by the bajo people. And it's area is becoming larger as the inhabitans extend the island as the population increases. Kaung Island is a small island, with a community of sailors, is located close to Bungin island, about 70 Kms from Sumbawa Besar. Kaung island produces various artefacts from oyster shell which are of interest

About Sumbawa

Sumbawa is one of the 13,000 plus islands in the Indonesian archipelago. This site focuses on life in Sumbawa: its culture, history, language, politics, and tourism.

Sumbawa is a large island to the east of Bali and Lombok. It is part of West Nusa Tenggara along with Lombok. There are hundreds of small islands in this area in addition to the two major islands. Sumbawa really belongs more to Eastern Indonesia than to to the western part of the archipelago. The effects of Hindu and Buddhist cultures are minimal in Sumbawa (although there is a Balinese presence along the northern coastal area), and although the island is predominantly Muslim, the role of adat is still very strong.

The slogan of the Sumbawa Regency is: "B E S A R" which stands for BERSIH, ELOK, SEHAT, AMAN, DAN RAPI. The regional government's official website notes that Sumbawa still lacks sufficient medical facilities to support public health, in particular a lack of doctors and other health professionals. A public health center was recently opened in Sekongkang, but adequate treatment for a serious illness or accident requires a trip to Sumbawa Besar or Mataram, both of which require a journey of at least four hours minimum.

Sumbawa is divided into four regencies and one municipality. The regencies are: Sumbawa Barat, Sumbawa Besar, Dompu, and Bima. The municipality is Kodya Bima. The most recent census lists the population as being 1.1 million. There are two main ethnic groups: Bima and the Samawa.

The regional government has a six year plan (ending this year) for improving the lives of the island's residents. This plan includes: Health (improving health service quality including equipment and facilities), Education, Social Welfare (including reaching gender equality), Agriculture ( optimizing resources for improving agricultural products), Industry, Trade and Cooperation (developing an economic system that focuses on the fair market mechanism), Regional Finance and Capital Investment, Manpower and Demography, Public Works and Communication (improving transport and the use of water resources), Agrarian Matter and Landscape, Living Environment and Natural Resource (rehabilitating and conserving natural resources), Tourism, Art and Culture (developing tourism based on natural and cultural tours, as well as teaching traditional art and culture), Religious Life Teaching (improving religious life through teaching and providing praying facilities and by making the role of religious institutions and social organizations to be teaching about living in harmony with other religious people), Law and Society's Orderliness (creating safe conditions based on the supremacy of the law and human rights); Politic and the Efficiency of Apparatus (improving the quality of public service through responsibility and the quality of government institutions); Science and Technology (the application of right and useful technology).

In many respects Sumbawa can be considered remote. To get to Sumbawa from Bali most people take the ferry from Bali to Lombok, travel overland to the eastern seaport in Lombok and then take another ferry to Sumbawa, ending up in Poto Tano. From there transportation is somewhat problematic. There are buses that will take you on to Sumbawa Besar, the capital, or down the coast road to the south, but my experience has been that trying to get on a bus once you arrive in Sumbawa is somewhat difficult (see the Transportation page for more details). If traveling from Lombok, it is best to board a bus there that will take you to your final destination in Sumbawa. It is also possible to fly into the city of Sumbawa Besar on the western side of the island, and Bima on the eastern side of the island. A small airline called Tropical Air existed for a short while which flew directly to Sekongkan where I am located and where the surfing spots of Yoyo and Scar Reef are located.. We still have the airport, but flights have been stopped for an indefinite period.

Sumbawa is known for its great waves and sandy white beaches. Due to the somewhat trying process of getting there and the scarcity of cheap tourist facilities, the island is not visited much by non-surfing tourists which is unfortunate as the parts of the island that I have seen are quite beautiful. During the dry season (April to November) a lot of dust is blown up and around. Strong winds blow in off the ocean, and the lush green hills, mountains and valleys turn a dusty brown. When the rainy season begins an amazing transformation takes place and the island becomes a lush jungle once again.

The pace of life on Sumbawa is definitely slower than that in Bali. As most of the island is still developing, there is a very rural feel to just about everywhere that you go, including Sumbawa Besar, the capital of the western side fo the island. The mining company, Newmont, has a gold and copper mine down in the southwestern corner of the island around the villages of Sekongkang, Maluk and Benete. Their presence has speeded up the development process on this side of the island.

Sumbawa is one of the larger islands in the archipelago, and we only live in the southwestern corner. I've been to Sumbawa Besar several times, but only for short periods. Taliwang, about an hour north of us, is a fairly small place, but large compared to Sekongkang and Maluk. The largest city on the island is Sumbawa Besar, but that is a five hour drive from here. The best shopping is actually on Lombok which is the next island to the west.

Understand
Sumbawa really belongs more to Eastern Indonesia than to to the West. The effects of Hindu and Buddhist cultures are minimal in Sumbawa; the majority of the population are Muslims.

During the dry season (April to November) a lot of dust is blown up and around. Strong winds blow in off the ocean, and the lush green hills, mountains and valleys turn a dusty brown. When the rainy season begins an amazing transformation takes place and the island becomes a lush jungle once again.

As most of the island is still developing, there is a very rural feel to just about everything, including Sumbawa Besar, the capital of the western side of the island. The mining company, Newmont, has a gold and copper mine down in the southwestern corner of the island around the villages of Sekongkang, Maluk and Benete. Their presence has speeded up the development process in this side of the island.

Bahasa Indonesia is spoken widely in Sumbawa

Get in
Sumbawa can be considered somewhat remote:

To get to Sumbawa from Bali most people take the ferry from Bali to Lombok, travel overland to the eastern seaport in Lombok and then take another ferry to Sumbawa, ending up in Poto Tano. From there transportation is somewhat problematic. There are buses that will take you on to Sumbawa Besar, the capital, or down the coast road to the south, but some travellers experience of trying to get on a bus once you arrive in Sumbawa is difficult to say the least. If traveling from Lombok, it is best to board a bus there that will take you to your final destination in Sumbawa.

It is also possible to fly into the city of Sumbawa Besar on the western side of the island, and Bima on the eastern side of the island. Sekongkan also has the airport, but flights have been stopped for an indefinite period after a small airline called Tropical Air ceased operating.

Get around
How to get to Sumbawa Besar? TransNusa - Trigana Air is serving with reliable ATR-42/300 Type of Aircraft with 46 seaters. It is flying from/to Denpasar Bali and Mataram Lombok. 4 days a week. More info please browse to www.transnusa.co.id or email to dps@transnusa.co.id

Alamat e-mail ini diproteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya

Natural Object
Saliper Ate Beach

Saliper means comforter. Ate means heart. According to its name Saliper Ate Beach means the beach that can comfort to the heart of its visitors. It is located approximately 5 km to the west of Sumbawa Besar City, the location is easy to reach with land transportation (the city 'bemo'). Before the development in tourism, the Saliper Ate beach was the only recreational place for the Sumbawa people.


Samongkat

The height of this mountain range is 450 meters above sea level, and it is located 17 km from the Sumbawa Besar City. The curvy road with the scenery of mountains and valleys can be traveled with various transportations. The facilities that are available there, among others are the swimming pool and shelter.


Moyo Island

It is located northward of Sumbawa, in front of the Saleh strait, with the width of 30 hectares. The Moyo Island has both land and marine tourist object. Moyo's tropical forest is a home for flock of deer, wild ox, boar, and the protected 'gosong bird' (megapodius). There is also the 'sharp eye' waterfalls. Its marine tourism provides a beautiful underwater panoramic view for snorkling and scuba diving, even from the wharf of the Moyo island thousand of small fish can be seen. Lady Diana from England and Prince William from the Netherlands had once visited the Moyo island to spend their holiday.


Ai Manis Beach

It is located on the white sand land of the Moyo island. It's charming underwater scenery with coral and tropical fishes, and also the tropical forest that surrounds it makes Ai manis perfect for camping, snorkling, etc. The view of sunset can also be enjoyed from Ai Manis. Bush walking in the tropical forest around Ai Manis will naturally provide the view of plants and animals such as deer, wild ox,, boar, the koakao, the cockatoo bird, and the protected 'gosong' bird. Not far from Ai Manis there is also a bat cave. Ai Manis can be reached in approximately 30 minutes by speed boat from Ai Bari the region of Moyo Hilir.


Liang Petang

It is a natural cave and it consist of human like rocks, platforms, weaving, instruments, and it is also filled stalactite and stalagmite. It is located in the Batu Tering village in the region of Moyo Hulu, 29 km from the Sumbawa Besar City. Not far from this cave there is also a bat cave (Liang Bukal.)


Maluk Beach

One of the natural resort area in Sumbawa district lies on Jereweh sub-district on 144 km from Sumbawa Besar or 15 km from Jereweh. Besides have the white sand, Maluk beach also have a hard wave and the beautiful underwater scenery, it makes Maluk beach as a place for surfing, enjoying its beautiful underwater scenery, and fishing. There also provides facilities in bungalows and good restaurants.


Sekonkang Beach

Sekongkang beach is located 8 km from Maluk beach, belongs to the area of Jereweh subdistrict. Its white sand and beautiful wave makes the foreign countries tourists named it as yoyo. This place is good for surfing.






Jelenga Beach

In the same natural resort area located in Jereweh sub-district, this beach is in 136 km from Sumbawa Besar or 7 km from Jereweh. Jelenga beach provides accommodations and restaurants. The beach with the white sand and the wave are named as 'scar reef' by the foreign countries tourists. It is very suitable for surfing.


Saleh Bay

It is a group of white sand with the beautiful coral and variety fish in calm water. This place is very suitable for swimming and diving in order to look underwater scenery. Saleh Bay is a rich waterworks with many kind of sea fish such as kerapu fish which have exported to some countries like Japan, Hong Kong, and Singapore. From Saleh Bay can be seen clearly Tambora Mount which is the widest caldera in the world.

Cultural Object
Dalam Loka ( The Old palace )

The historic inheritance from the Sumbawa monarchy, it was built in the era of Sultan Muhammad Jalaludin III (1883-1931) as home for kings and a place to do governmental duties in its with the traditional design of the Sumbawa region. The old palace (Dalam Loka) is a twin house on stilts, on top of 99 hardwood pillars which symbolize the 99 characteristics of God (Asmaul Husna).


Wisma Praja ( Government House )

Formerly, it used to be the justice palace of The Sumbawa King Muhammad Kaharuddin III, it was built in 1932. This building is in good maintenance and it is used by the local government as a place for the official gatherings, and other ceremonial duties.


Bala Kuning ( The Yellow House )

It was the justice house of The Sumbawa King Muhammad Kaharuddin II and his family, after he no longer rules. In this house various historical remains are still being kept, such as: dagger, the king's crown, spear & gold platted king's clothes. Bala Kuning can be easily reached and it is near to Wisma Praja (now the district office).


Pamulang Village

A Village which is located approximately 5 km from the Sumbawa Besar City, it is a place that still maintains Sumbawa's traditional cultural. Over here we can see various cultural attraction, such as Barapan Kebo (buffalo race), Karaci, and traditional dances.


Tepal Village

A traditional village located approximately 37 km from the city center, it belongs to the Batu Lanteh district. This village can be reached on foot or on horseback. The Tepal village maintains many traditional cultures because the people there still hold the traditional norms and the Samawa culture firmly. This can be seen from the way they dress, the way they live, and also the shape of the houses there.


Poto Village
One of the village in the Sumbawa regency that still keeps the regional culture like traditional weaving, pottery making, and several attractions such as horse race, and buffalo race. Poto village belongs to the Moyo Hilir district approximately 13 km from Sumbawa Besar and it can be easily reached by land transportation that provides daily service for that route.

Bungin Island
It is called the most condensed island in the world, because the population density is more or less 14.000 people/ km. It is also known as a very safe place because so far the lives of the people are always safe and peaceful. In this island there are no fields, plantation, or dairies. The existing land is utilized for housing. The people work together to build a new house by arranging the reef that has been gathered beforehand. This lack of land brings certain uniqueness because the cattle in this island (goats) do not only eat leaves but also paper, fishes, and torn-up clothes. Bungin island belongs to the Alas district, 70 km from Sumbawa Besar City. To reach this island, there is a motor-boat that goes back and forth between the Bungin Island and the Alas wharf.

Kawung Island
An island that becomes the fishermen's village, located not very far from the Bungin Island. We no longer have to cross the sea to reach the island because now there are land transportations such as motorized vehicles and 'dokar'. The people's handicrafts made from sea-shells can also be found in this island.

Talwa Village
The village for black-smiths that still mountains the traditional characteristics in making knives, machetes, mattocks, Sumbawa's traditional knife 'tembilang', etc. The Talwa village, which is nick-named 'The Dutch Blingin' by the tourists, is located in the Moyo Hulu district, approximately 14 km from Sumbawa Besar City.

Hotels at Sumbawa Besar area

No
Name
Address
Star
1
Amanwana Resort
Dusun Gedal, Moyo Island Telp.(0371)22330-Fax.(0371)22288
Star Hotel
2
Kencana Beach Cottages
Jln. Raya Tano, KM - 11 Kec. Badas
Star Hotel
3
Tambora
Jln. Kebayan No. 1 Telp.(0371)21555 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
4
Hotel Cendrawasih
Jln. Cendrawasih, Telp.(0371)24148 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
5
Hotel Dewi
Jln. Hasanuddin No.48 Telp.(0371)21799 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
6
Hotel Garoto
Jln. Batu Pasak No.48 Telp.(0371)22062 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
7
Hotel Cottages
Jln. Raya KM. 5,5 Telp.(0371)21987 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
8
Hotel Suci
Jln. Hasanuddin No.50 Telp.21589 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
9
Hotel Harapan
Jln. Dr.Cipto Telp.21692 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
10
Hotel Mekarsari
Jln. Hasanuddin Gang Kemuning Telp.21351 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
11
Hotel Dian
Jln. Hasanuddin Telp.21708 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
12
Hotel Saudara
Jln. Hasnuddin Telp.21528 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
13
Hotel Tunas
Jln. Hasnuddin Telp.21212 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
14
Hotel Indra
Jln. Diponegoro Telp.21878 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
15
Hotel Baru
Jln. Wahidin No.45 Telp.21533 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
16
Hotel Sumbawa
Jln. Gurami No.20 Telp.21355 Sumbawa Besar
Non Star Hotel
17
Hotel Guest House
Jln. Raya-Badas KM- 8 Sumbawa Besar
Non Star Hotel

Restaurants
No
Name
Address
1
Tambora Bar & Restaurant
Jln. Kebayan No.2 Telp.21555 Sumbawa Besar
2
Kencana Beach Bar dan Rastaurant
Jln. Raya Tano KM -11 Telp. 22555 Kec. Badas
3
Aneka Rasa Jaya
Jln. Hasanuddin Sumbawa Besar
4
Puspa Warna
Jln. Cendrawasih No.1, Sumbawa Besar
5
Cirebon I
Jln. Kebayan, Sumbawa Besar
6
Srikandi
Jln. Diponegoro, Sumbawa Besar
7
Cendrawasih
Jln. Cendrawasih, Sumbawa Besar
8
Putra Tunggal
Jln. Raya Tano
9
Puas
Labuhan Sumbawa
10
Surabaya
Jln. Raya Tano KM 5,5
11
Tirta Sari
Jln. Raya Tano KM 5,5
12
Tradisional
Labuhan Sumbawa
13
Simpang Tiga
Sumbawa Besar
14
Putra Yogya
Sumbawa Besar
15
Selera
Sumbawa Besar
16
Rinjani
Sumbawa Besar
17
Bengawan
Sumbawa Besar
18
Omega
Sumbawa Besar
19
Priangan
Sumbawa Besar
20
Rizki
Plampang
21
Pasingga
Empang
22
As

Kawasan Obyek Wisata Gili Bedil dan Gili Keramat Kawasan Eksotis Untuk Pariwisata

Sumbawa Besar, Sumbawanews.com.- Kawasan dua Gili (pulau kecil-Sumbawa) yakni Gili Bedil dan Gili Keramat yang terletak di Kecamatan Utan memang harus diakui sebagai kawasan eksotis untuk pariwisata.

Selain memiliki pemandangan yang menakjubkan dan alam yang masih perawan, juga hamparan pasir putih yang menawan akan telah disuguhkan alam untuk dinikmati, Tidak salah jika Pemerintah daerah dapat segera mengembangkannya sebagai daerah tujuan wisata yang tidak kalah dibandingkan dengan kawasan tiga gili di pulau lombok.

Ir. Padusung, MM-Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sumbawa menyebutkan kondisi alam yang masih perawan itu akan tetap dipertahankan sebagai nilai jual yang menggiurkan.

Sumber : Sumbawanews.com
Sementara informasi mengenai kawasan tersebut sebenarnya telah menggema sampai ditelinga para wisatawan.

Terbukti kerap kali wisatawan dari Bali, melalui travel agency (biro perjalanan) datang membawa turis meski hanya sekedar mampir dan berjemur, bahkan tidak jarang mereka datang menggunakan kapal pesiar untuk ke kawasan dua gili itu.

kawasan dua gili ini dapat diakses melalui labuhan padi, jika menggunakan perahu biasa hanya memakan waktu sekitar 25 menit, kalau menggunakan spead boat hanya 10 menit saja, sekarang ini sudah ada pihak swasta yang coba buka disana, tapi baru disekitar labuhan padi nya, sebut Padusung.(sumbawa.go.id)

Jumat, Agustus 07, 2009

SUMBAWA: Dengan luas 8 hektare dihuni lebih dari 2.800 penduduk, Bungin bisa jadi pulau terpadat di dunia. Sejarah penghuni, etos kerja penduduknya yang nelayan, dan cerita kambing maka kertas melengkapi keunikan di pulau karang tersebut.

“Anda pasti tertarik ke sana karena cerita Kambing makan kertas?. Hanya di Bungin anda bisa melihatnya langsung, dan percaya,” begitu kata Indra, seorang warga Desa Alas, Kecamatan Sumbawa.

Pertanyaan itu hampir selalu dilontarkan warga di sana, kepada orang luar yang menanyakan letak Pulau Bungin, dan hendak menuju ke Pulau itu.
Pulau Bungin terletak di perairan laut Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Tepatnya di sebelah utara Pulau Sumbawa. Secara administratif Bungin termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Alas.
Tak sulit menemukannya. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa, hanya berjarak sekitar 70 KM ke arah barat. Sedangkan dari Mataram, menghabiskan waktu berkendara sekitar 6 sampai 8 jam perjalanan ke arah timur, sudah termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan Lombok-Sumbawa.
Sedikit bertanya pada warga di Desa Alas, pasti langsung ditunjukkan letak Pulau Bungin. Dari daratan sepanjang jalan di Alas, pulau Bungin bisa terlihat karena jaraknya hanya sekitar 4 KM arah utara dari Alas.

Kini, menuju pulau Bungin tak harus menyeberang dengan sampan, pakai sepeda motor atau mobil juga bisa karena sudah tanggul terbuat dari susunan karang yang menghubungkan Bungin dengan daratan.
Cerita tentang Kambing makan kertas, memang sangat melekat bagi citra Pulau Bungin. Kedengarannya memang aneh. Tetapi pemandangan itu menjadi sesuatu yang lazim bagi penduduk Bungin.
Di Bungin kambing memang tak punya pilihan makanan lain, selain sampah kertas dan kain bekas. Tekstur pulau batu karang tak memungkinkan bagi tanaman untuk tumbuh, meski hanya rumput.

Setiap ada pengunjung yang datang untuk melihat kambing makan kertas, belasan anak usia SD dengan senang hati akan menunjukannya. Mereka beramai-ramai mencari kertas atau dos bekas untuk diberikan pada kawanan kambing.

Meski bertahan hidup hanya dengan makan sampah kertas dan kain bekas, populasi kambing di Bungin cukup banyak.

Sejak tahun 2002 lalu, Pulau Bungin sudah menjadi desa definitif dengan tiga Dusun, di wilayah Kecamatan Alas. Jumlah penduduk dan luas areal pulau sudah memungkinkan.
Catatan resmi di Kantor Desa Pulau Bungin menyebutkan, jumlah penduduknya saat ini mencapai 609 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 2.826 Jiwa.
“Pulau ini mungkin satu-satunya pulau terpadat, dan satu-satunya pulau yang luasnya terus bertambah,” kata Sopian, Kepala Desa Pulau Bungin.
Menurutnya, saat diukur pada tahun 2002 silam, luas pulau sekitar 6 Hektare, namun kini luas pulau itu menjadi sekitar 8 Hektare.
Pulau Bungin memang sangat padat penduduk. Rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antara rumah hanya sekitar 1,5 meter.

Konstruksi rumah adalah rumah panggung khas Bungin, terlihat merata menutupi luas pulau. Karena rapatnya, ada beberapa rumah yang atapnya bertemu.
Hukum adat tentang perkawinan warga Bungin, menjadi alasan yang membuat Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Karena dalam hukum adat itu, diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri untuk mendirikan rumah mereka.
Caranya, pasangan itu harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6 x 12 meter persegi. Setelah lokasi terbentuk, baru mereka boleh menikah dan mendirikan rumah. Itu sebabnya, luas pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun.
“Biasanya bisa makan waktu 3 sampai 7 bulan untuk satu lokasi. Tetapi itu sudah aturannya turun temurun, kalau mereka tidak bikin lokasi ya belum boleh kawin,” kata Sopian.
Tapi, bagi warga Bungin aturan itu tidak mempersulit, sebab pengumpulan batu karang biasanya dilakukan dengan bergotong royong.
Bisa dibilang, pulau Bungin adalah pulau karang bentukan. Meski pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa, selalu mengukur luas pulau itu setiap lima tahun, namun tak satu penduduk pun memiliki sertifikat tanah.

“Karena ini kan bukan tanah daratan, ini karang bentukan warga. Maka di pulau ini warganya tidak membuat sertifikat, hanya ada keterangan hak milik yang dikeluarkan Kantor Desa,” kata Sopian.

Legenda Panglima Mayo
Penduduk pulau Bungin bermata pencaharian nelayan. Mereka adalah keturunan suku Bajo dan Bugis, Sulawesi Selatan.
Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas pulau Bungin hanya sekitar 3 Hektare, teksturnya karang utuh. Penduduk pertamanya ialah nenek moyang mereka yang dibawa dalam armada laut Panglima Mayo, seorang pejuang Sulawesi Selatan, ketika terdesak penjajah Belanda pada tahun 1818.
“Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk di sini pakai bahasa Bajo, bukan bahasa asli daerah Sumbawa,” katanya.
Walau seluruh penduduknya bermata pencaharian nelayan, kehidupan warga pulau itu cukup mapan. Jauh dari kesan kemiskinan yang biasa terlihat di kampung-kampung nelayan lainnya di Nusa Tenggara Barat.
Hampir semua keluarga punya barang elektronik. Paling rendah punya pesawat televisi, lengkap dengan reciever parabola digital.
Malah, anak-anak Bungin sudah tidak asing dengan Play Station. Ada sejumlah rental menyewakan Play Station di sana.
Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk di sana, juga lumayan tinggi. Soalnya, kecuali produk laut, semua kebutuhan lainnya harus dibeli. Mulai sembako, hingga air bersih.
Ini yang unik. Untuk kebutuhan sehari-hari itu, para wanitalah yang memenuhinya.
“Suami kita melaut, kadang sampai 3 bulan di laut. Kita yang cari uang untuk belanja,” kata Hasnah, istri nelayan Bungin.
Untuk kebutuhan itu, Hasnah dan para wanita lainnya mencari ikan, kerang, dan tripang di sekitar Pulau Bungin. Hasilnya lumayan, mereka bisa mengantungi Rp15 ribu sampai Rp30 ribu perhari.
Nelayan di Pulau Bungin sudah menggunakan teknik modern mencari ikan. Dengan kapal-kapal berukuran besar, menggunakan mesin tempel dan layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores, NTT, dan peraian Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal piawai memburu Lobster.
Nah, hasil melaut para nelayan inilah yang kemudian digunakan untuk keperluan tambahan keluarganya. Mulai dari keperluan membangun rumah, menyekolahkan anak, membeli perhiasan, hingga naik haji.
Penduduk Bungin sangat mencintai pulaunya. Meski mapan secara ekonomi, mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke darat.
Peti kalamndan isian kepeh bubungin, pdi dendamku malenan tana bungin. Syair adat turun temurun itu menjadi pengikatnya. Dalam bahasa Bajo syair itu berarti, banyak peti sudah kuisi dengan uang dari Bungin, sakit hatiku jika meninggalkan tanah Bungin.
“Di darat biasanya banyak godaan, dan juga banyak rasa tidak aman. Misalnya ada pencuri. Maka itu, walau bisa melaut sampai berbulan-bulan, masyarakat Bungin pasti kembali,” kata Sopian.
Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan kenyamanan, karena pertalian persaudara membuat mereka saling menjaga.
Hanya satu yang ditakuti mereka, yakni kebakaran. Bayangkan dengan posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa merembet sangat cepat.
“Makanya kalau ada gejala kebakaran, maka semua masyarakat di sini menjadi petugas pemadamnya. Tapi mudah-mudahan itu tidak pernah terjadi,” kata Sopian.
Berkat kemampuan ekonomi mereka, infrastruktur di pulau Bungin pun terus terbenahi dari tahun ke tahun. Listrik PLN dan Air PDAM sudah masuk ke sana.

Sudah ada dua buah Sekolah Dasar di Pulau itu, dan sebuah Puskesmas pembantu.
Secara swadaya pula, mereka membangun tanggul sepanjang 750 Meter dengan lebar 2 Meter. Tanggul itu menghubungakan Bungin dengan daratan, sehingga selain menyeberang perahu, kini menuju Bungin bisa lewat darat.
Selain memudahkan akses masyarakat ke darat, tanggul itu juga untuk mempermudah jika ada warga Bungin yang meninggal dunia. Sebab mereka dimakamkan di sebuah tanjung yang diberi nama Tanjung Kuburan, di darat.
“Dari tanjung darat itu, pemerintah yang membantu membuka jalan sepanjang 3 KM ke jalan raya utama,” kata Kades Bungin, Sopian.
Masyarakat Pulau Bungin masih mengharapkan bantuan pemerintah untuk dunia pendidikan di sana. Berharap ada SMP dan SMA di pulau itu, walaupun lokasinya harus dikerjakan gotong royong.
Kini, Bungin sudah menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara ingin melihat dari dekat.
Ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walau semua rumah memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun punya WC. Buang air tetap dilakukan di laut.
Selain keramahan penduduknya, ada hal yang pasti berkesan ketika berkunjung ke Pulau Bungin. Kita bisa menikmati indahnya Sunrise dan Sunset di pulau yang sama.(JL-001)

Sumber : Sumbawanews.com

Sejarah Sumbawa
Sumbawa saat ini merupakan Kabupaten, masyarakat lokal menyebutnya samawa. Kata samawa sendiri sebenarnya berasal dari arab yang kerajaan langit. dalam kalimat arabnya “samawatiwal ardy”. Kedekatan etnis samawa dengan Arab sangat kuat, ciri-ciri Arab diwajah orang Sumbawa sangat kental dengan ciri hidung yang mancung.
Sebelum suku dari Makasar ekspansi ke Sumbawa, kedatangan orang Arab telah lebih dulu berada di Sumbawa. Perubahan dari kata Samawa ke Sumbawa dikarenakan adanya pencampuran etnispendatangan, sehingga ucapan bergeser dari samawa menjadi sumbawa.

Identifikasi

Suku Sumbawa atau tau Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, wilayahnya seluas 8.493 km2 yang berarti lebih dari setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2, sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima.

Sebagian besar wilayahnya terdiri atas perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi 1.730 meter berada di Gunung Batu Lanteh. Gunung ini berdiri tegak di antara lima pegunungan lainnya yang berada di bagian tengah dan selatan pulau. Mengarah ke gunung ini terdapat sebuah sungai terbesar bernama Brang Beh yang juga mengalir menuju Teluk Lampui dan menuju daerah-daerah di sekitar pegunungan lainnya, kemudian bertemu dengan anak-anak sungai lainnya yang lebih kecil.

Populasi tau Samawa tersebar di dua daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang wilayahnya mulai dari Kecamatan Empang di ujung timur hingga Kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Batas teritorial kedua daerah kabupaten ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Jumlah populasi suku Sumbawa sekarang diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa.

Populasi Suku Sumbawa yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815. Para pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini, sedangkan sebagian penduduk yang mengklaim diri sebagai pribumi atau tau Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan dataran rendah yang dulunya menjadi daerah pemukiman mereka tidak dapat ditempati lagi pasca bencana alam Tambora yang menewaskan hampir dua pertiga penduduk Sumbawa kala itu.

Sumbawa merupakan daerah beriklim tropis, pengaruh iklim dari Benua Australia pada bulan-bulan tertentu sangat terasa dengan temperatur berkisar antara 19,20C–34,20C, kelembaban maksimum 89% dan minimum 71% dengan tekanan udara rata-rata 1.008,2 mb sampai 1.013,4 mb. Arah mata angin terbanyak adalah 300 dengan kecepatan tertinggi 13 knot per detik yang terjadi pada bulan Agustus, Oktober, dan November. Curah hujan rata-rata 1.476 mm setahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 75 hari. Hujan mulai turun di Sumbawa pada bulan November sampai dengan Maret, setelah itu berganti musim kemarau di bulan April yang biasanya diawali dengan udara dingin dalam beberapa minggu.

Sebagian besar wilayah Sumbawa kaya akan hasil-hasil tambang, selain juga potensi perikanan, perkebunan, dan pertanian tanaman pangan. Potensi lain berupa hasil-hasil hutan dan peternakan. Beberapa produk andalan yang telah menjadi maskot bagi Sumbawa adalah madu lebah, mutiara, dan kekayaan flora-fauna berupa kayu gaharu, kuda, dan rusa yang mulai terancam punah akibat perburuan liar.

BAHASA, TULISAN, DAN KESASTRAAN

Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini.

Mahsun (2002) dalam Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawabesar atau cikal bakalnya disebut dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga dialek yang berdiri sendiri.

Dalam bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.

Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut disebut basa Samawa.

Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.

Membahas tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata pengot dalam bahasa Jawa.

Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.

Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.

Para sastrawan Sumbawa dulu mengabadikan karya-karyanya dengan menulisakannnya di daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm, cara menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk.

Karya sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk membangun kembali realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut.

Dengan menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.

Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak.

SISTEM KEPERCAYAAN

Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.

Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.

Mayoritas tau Samawa saat ini memeluk agama Islam, bahkan sangat mengherankan bila ada orang yang mengaku tau Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukkan Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas:


Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam)
Pang akhirat pang tu matak (di akhirat tempat menuai)
Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya)

Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh)
Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah)
Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)


Semenjak munculnya pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun menjadi tau Samawa ini. Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? No soka ungkap bilik ke? Tempu tama dengan nya ke? menunjukkan betapa penting arti Islam bagi tau Samawa.

Tau Samawa begitu fanatis terhadap agama Islam yang diyakininya, bahkan nampaknya begitu sensitif dan mudah digelorakan untuk berjihad demi membela kepentingan agamanya, serta kelihatan antipati dan menolak terhadap bentuk-bentuk keyakinan agama lain selain Islam, akan tetapi dalam praktiknya banyak kita jumpai tau Samawa yang menjalankan hidupnya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Mereka tidak menjalankan sholat lima waktu dan membayar zakat, bahkan mereka masih percaya pada makhluk-makhluk halus yang sering mendatangkan musibah berupa bencana dan penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.


Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian tau Samawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan meramal nasib, tau Samawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya. Meski demikian kenyataannya, akan tetapi siapapun berani menyinggung harga diri Islam berarti berani menumpahkan darah dan akan dihadapi sebagai perang jihad oleh tau Samawa. Proses dahwah Islamisasi sampai sekarang terus berlangsung pada tau Samawa untuk menyesuaikan sistem kepercayaan masyarakat dengan Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

Sistem kekerabatan dan keturunan tau Samawa pada umumnya bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misal eaq untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.

Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai kekerabatan yang begitu kuat seperti tercermin dalam lawas:


Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa)
Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau)
Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati)

Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu)
Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja)
Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap)

Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda)
Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke tanah)
Mate bakolar ke lolo (mau hancur bersama sanak kerabat)


Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mengadopsi prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa.

Sebagian masyarakat Sumbawa percaya apabila upacara barodak ini tidak dilaksanakan akan muncul musibah bagi pengantin maupun keluarganya dalam bentuk munculnya penyakit rabuyak, seperti benjol-benjol di kepala disertai gatal-gatal, kesurupan, keluar darah dari mata bila menangis, tiba-tiba tulang rusuk keluar bebepa centimeter, dan berbagai jenis penyakit aneh lainnya yang disebabkan melanggar upacara daur kehidupan. Selanjutnya pada sebagian masyarakat Sumbawa yang mempercayai pandangan ini, sandro berperan dalam menentukan hari baik, menemukan jenis benda yang digunakan untuk proses penyembuhan penyakit rabuya, serta melakukan pengobatan dan membangun komunikasi secara gaib dengan leluhur si sakit. Akan tetapi, kepercayaan ini mulai nampak memudar seiring pemahaman mereka pada bidang kesehatan dan bergesernya pola berpikir yang menganggap tidak masuk akal menghubungkan antara munculnya berbagai jenis penyakit tertentu ini dengan bentuk upacara adat daur kehidupan, selain juga dianggap oleh sebagian masyarakat bentuk kepercayaan demikian ini sangat tidak Islami.

Satu hal manarik dalam sistem perkawinan tau Samawa yang dianggap ideal adalah perkawinan antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas:


Balong tau no mu gegan (secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap)
Lenge sempu no gantuna (sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya)
Denganmu barema ngining (bersamamu mengarungi suka dan duka)

Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri.

Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan.

Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat ngirang bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban.

Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.

SISTEM MATA PENCAHARIAN


Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.

Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan pemeliharaan.

Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.

Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.

Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut.

Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional.

Masyarakat di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini dipelihara dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.

Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi segelintir orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang.

Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan tambang. Pengaruh kebudayaan Hindu secara makro pada tau Samawa yang telah memeluk Islam juga nampak dari sikap dan perilakunya yang begitu kuat berorientasi pada status sosial, dan bukan berorientasi pada etos kerja. Oleh karenanya, penghargaan terhadap pekerjaan seseorang cenderung dilihat dari penampilan luar dan materi yang dimilikinya.

Kuatnya orientasi pada status sosial ini ditunjukkan dengan rasa malu yang berlebihan atau berpantang untuk memakai baju robek di luar rumah, bekerja menjadi buruh kasar, gagal pergi haji, mengurus pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan, bahkan tau Samawa sangat bangga terhadap kediriannya karena tidak ada yang memakai baju compang-camping di jalanan dan menjadi pengemis, serta perasaan tidak enak bila dikatakan miskin menjadikan tau Samawa berusaha menutup-nutupi keadaan dirinya yang sesungguhnya dengan ungkapan kangila rara kagampang bola atau kangila rara kagampang sugih yang maknanya merasa malu bila dikatakan miskin, lebih baik berlaku menutup-nutupi dengan berpura-pura kaya. Berkaitan dengan orientasi status ini dalam kondisi tertentu tau Samawa juga gemar meremehkan orang lain dengan ungkapan apa nya (apa dia), dan cenderung kurang apresiatif terhadap keberhasilan dan prestasi kerja yang dicapai seseorang meskipun prestasi itu diraih dengan etos kerja yang tinggi.

SISTEM PEMERINTAHAN


Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umunya adalah gemar berbicara dan mengurus soal-soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada sandro atau dukun, kurang senang berpikir hal-hal yang kecil dan detail, dan sejarah masa lalunya yang selalu menempatkan dalam pergolakan, baik masa pra-Hindu, Hindu-Budha, dan terakhir masa Islam telah mengkondisikan tau Samawa rata-rata bertemperamen keras dan mudah naik darah, terutama mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, khususnya Taliwang yang dahulu pernah menjadi pusat pengaruh Kerajaan Majapahit di Pulau Sumbawa.

Suku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawabesar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawabesar.

Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa.

Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa.


Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.

Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).

Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.

Sumber:
SumbawaKab.go.id
Sumbawanews.com